03 April, 2008

Pemda Perlu TIGA Standar Harga

Untuk organisasi sebesar pemerintah daerah yang mengelola anggaran cukup besar dengan puluhan sub-organisasi dan anggaran triliunan serta melibatkan ratusan jenis kegiatan diperlukan standarisasi harga.

Anda mungkin sudah pernah mengetahui bahwa pada saat ini seringkali ditemukan untuk kegiatan yang sama (misalnya: Pelatihan) memiliki anggaran yang beragam per satuan kinerja output (misalnya: hari orang pelatihan). Umumnya pelatihan untuk para bos sangat mahal dibandingkan para staf bawahan.

Pada saat ini, pemda memiliki dua standar harga yaitu standar harga yang berlaku umum untuk seluruh SKPD (satuan kerja pemerintah daerah) dan standar haraga yang berlaku khusus untuk SKPD-SKPD tertentu (misalnya: standar harga alat rontgen untuk dinas kesehatan atau rumah sakit). Intinya, kebanyakan standar harga hanya (atau kebanyakan) untuk standar harga barang.

Ini tidak cukup karena kegiatan juga perlu memiliki standar harga, sementara kegiatan memiliki struktur anggaran sendiri yang tidak cukup dengan satu item barang saja. Biasanya dalam satu kegiatan diperlukan tiga jenis belanja: pegawai, barang & jasa, dan modal.

Standar harga kegiatan juga penting untuk memadukan perencanaan dan penganggaran mulai dari musrenbang desa/kelurahan agar masyarakat desa bisa langsung memperkirakan jumlah anggaran yang diperlukan dari usulan mereka.

Standar harga pegawai masih belum jelas. Walaupun standar untuk gaji pokok, tunjangan jabatan dan tunjangan fungsional sudah jelas, tetapi ada banyak jenis belanja pegawai lain yang tidak diatur.

Oleh karena itu, saya mengusulkan agar pemda memiliki 3 jenis standar harga yaitu:
- Standar harga belanja pegawai
- Standar harga belanja barang/jasa (untuk satu satuan barang/jasa)
- Standar harga kegiatan.

Standar harga kegiatan bisa dibuat lewat Analisis Standar Biaya (ASB).

4 comments:

Unknown said...

biasa jiga pemda memiliki standar harga yang kabur.
ini memang disengaja untuk memudahkan dalam "bermain"....

daryanto said...

Dalam rangka penyelenggaraan sistem anggaran berbasis kinerja atau anggaran berdasarkan prestasi kerja yang hendak dicapai, Pemerintah Daerah harus mengembangkan 4 (empat) hal, yaitu: (1) Indikator kinerja beserta capaian/ target kinerjanya, (2) Standar Harga, (3) Standar Pelayanan Minimal (SPM), dan (4) Analisis Standar Belanja (ASB).
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah juga menyebutkan perlunya menyiapkan Analisis Standar Belanja dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), supaya didapatkan anggaran yang efisien dan efektif. Pada pasal 39, ayat (2) PP Nomor 58/2005 tersebut dinyatakan bahwa: “Penyusunan anggaran berdasarkan prestasi kerja dilakukan berdasarkan capaian kinerja, indikator kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar pelayanan minimal”.
Selanjutnya pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah juga ditegaskan pentingnya penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (RKA-SKPD) yang salah satunya harus mempedomani Analisis Standar Belanja. Pasal 93, ayat (1) Permendagri Nomor 13/2006 itu menyebutkan bahwa: “Penyusunan RKA-SKPD berdasarkan prestasi kerja berdasarkan pada indikator kinerja, capaian atau target kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar pelayanan minimal”.
Analisis Standar Belanja (ASB) merupakan tolok ukur untuk menilai kewajaran dari suatu belanja untuk kegiatan tertentu. Sebagaimana disebutkan pada Pasal 93, ayat (3) Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 bahwa: “Analisis Standar Belanja merupakan penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya yang digunakan untuk melaksanakan suatu kegiatan”.
Keberadaan dokumen Analisis Standar Belanja (ASB) ini sangat penting dan strategis bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), karena dokumen itu harus menjadi pedoman dalam penyusunan RKA-SKPD. Sehingga sebelum dilakukan penyusunan RKA-SKPD, Kepala Daerah menyusun Surat Edaran tentang Pedoman Penyusunan RKA-SKPD yang antara lain harus dilampiri dengan dokumen Analisis Standar Belanja. Demikian pula tatkala RKA-SKPD telah tersusun, masing-masing SKPD menyerahkan RKA-SKPD-nya kepada Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) untuk dibahas lebih lanjut oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD).
Pembahasan RKA-SKPD oleh TAPD dilakukan untuk menelaah kesesuaian antara RKA-SKPD dengan KUA, PPA dan dokumen perencanaan lainnya, serta capaian kinerja, indikator kinerja, kelompok sasaran kegiatan, standar analisis belanja, standar satuan harga, standar pelayanan minimal, serta sinkronisasi program dan kegiatan antara SKPD.
Berkaitan dengan penyusunan Analisis Standar Belanja itu, ada beberapa permasalahan penganggaran daerah yang perlu ditangani saat ini, yaitu: (1) Adanya jenis kegiatan yang sama pada satu SKPD dengan SKPD lainnya, namun memiliki nilai anggaran yang cukup berbeda, dan (2) Penentuan besar kecilnya anggaran suatu kegiatan belum sepenuhnya didasarkan pada kewajaran beban kerja dan biaya, namun lebih diwarnai oleh kekuatan proses politik dan birokrasi.
Maka guna memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan untuk mensikapi kondisi dan permasalahan tersebut diatas,maka sudah seharusnya semua
pemerintah daerah baik itu Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota harus menyusun dan menetapkan dalam peraturan kepala daerah Analisis Standar Belanja (ASB). Analisis Standar Belanja yang ditetapkan itu diharapkan dapat menjadi dasar untuk penyusunan anggaran yang efektif, efisien dan wajar. Persoalannya apakah semua daerah sudah menetapkan ASB? Perkiraan kami kurang dari 10 % yang baru menetapkan. Pertanyaan selanjutnya dari yang kurang dari 10 % tersebut yang sudah mengimplementasikannya berapa %? Akan menjadi masalah yang strategis ketika belum ada yang mengimplementasikannya. Lalu letak persoalannya di mana? Bagaimana dengan komitmen Para Kepala Daerah dan DPRD nya?

daryanto said...

Kalau standar harga, memang hampir semua daerah membuatnya. Standar harga itu dalam tiga bulan sekali perlu ditinjau kembali, karena bisa tidak sesuai dengan kondisi riil yang ada. Namun apabila kita berbicara mengenai Analisis Standar Biaya (ASB)pengamatan saya sementara, kurang dari 10 % saja daerah di Indonesia yang membuatnya, sedang lainnya tentu saja belum. Kalau anggaran prestasi kerja mensyaratkan empat hal yang harus ada, sedangkan ASB belum dibuat apakah anggarannya bisa dinamakan anggaran berbasis kinerja (performance base budgeting) atau anggaran prestasi kerja? Apa tidak hanya seperti anggaran prestasi kerja? Lalu siapa yang mesti bertanggungjawab terhadap keadaan ini?

daryanto said...

Apakah esensi dari ASB, yaitu dengan menggunakan ASB, maka anggaran akan menjadi rasional, obyektif, wajar, tidak terjadi mark up, dan juga tidak low cost, efektif dan efisien, sudah diketahui oleh kepala daerah serta pimpinan dan anggota DPRD. Kalau sudah faham, mengapa mereka tidak segera menetapkannya ke dalam peraturan kepala daerah?